“MAKASSAR” Awal Masuknya Islam Di Kerajaan Gowa

 

Assalamu Alaikum Wr.Wb.

Sahabat dakwah sekalian, selama ini banyak yang beranggapan bahwa manusia yang lahir dan berasal dari MAKASSAR adalah orang-orang yang KASAR dan menakutkan. Wajarlah karena mereka yang beranggapan begitu hanya menilai orang berdasarkan apa yang mereka dengar, bukan apa yang mereka alami. Kita tidak akan tahu bahwa gula itu manis ketika kita belum mencobanya, itu pulalah yang terjadi terhadap anggapan mereka kepada orang-orang Makassar. Padahal setelah melalui beberapa pengalaman dengan orang-orang Makassar, banyak dari mereka yang berubah anggapan setelah mengenal lebih dekat Makassar. Tapi tahu gak…? ternyata kata “MAKASSAR” itu merupakan tonggak awal masuknya agama Islam di Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan, begini kisahnya:

Tiga hari berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma’bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu ke negeri sahabat lainnya.  Bersamaan di malam ketiga itu, yakni malam Jum’at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M. (Darwa rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36), di bibir pantai Tallo merapat sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki menambatkan perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan aneh. Lelaki itu ternyata melakukan sholat. Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di pagi buta itu, Baginda bergegas ke pantai. Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya. Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah kaku lantaran takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak tangan Baginda “Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja. Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya tulisan itu ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau.

Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki itu. Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri Baginda.  Peristiwa ini dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama “Makassar”, yakni diambil dari nama “Akkasaraki Nabbiya”, artinya Nabi menampakkan diri. Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma’mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato’ ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah Awaluddin Awawul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.

Lebih jauh, penyusuran asal nama “Makassar” dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:

  1. Makna. Untuk menjadi manusia sempurna perlu “Ampakasaraki”, yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. “Mangkasarak” mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa “Mangkasarak” orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya
  2. Sejarah. Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama “Makassar”. Abad ke-16 “Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum
  3. Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dati kata “Mangkasarak” yang terdiri atas dua morfem ikat “mang” dan morfem bebas “kasarak”. Morfem ikat “mang” mengandung arti: a). Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya. b). Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. ­Morfem bebas “kasarak” mengandung (arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus). Jadi, kata “Mangkasarak” Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter “Mangkasarak” berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.

John A.F. Schut dalam buku “De Volken van Nederlandsch lndie” jilid I yang beracara : De Makassaren en Boegineezen, menyatakan: “Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim hujan; air-air terjun tertumpah mendidih, membusa, bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai, gunung nan garang berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah”. Dalam ungkapan “Akkana Mangkasarak”, maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata “Mangkasarak” ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.

Gerakan Kader KAMMI Menulis by Muhammad Ikhlas Samad

Staf Pengembangan Sosial Masyarakat (PSM) KAMMI STKS Bandung

 

Advertisement
Categories: Islam dan Budaya | Tags: , , , | 5 Comments

Post navigation

5 thoughts on ““MAKASSAR” Awal Masuknya Islam Di Kerajaan Gowa

  1. astagfirullah,,,ini adalah sebuah karangan belaka!!! jgn lah memfitnah nabi MUhammad seperti itu saudaraku,seseorang yg sudah meninggal tidak akan dpat kembali lg kemuka bumi sekalipun itu seorang nabi,berhati hati lah dalam mengarang sebuah cerita yg tidak ilmiah berdasarkan sejarah yg sebenarnya! jangan lah membumbuhi cerita saudara dengan kalimat kalimat dusta….

    • Jusny

      Ini bukan karangan belaka, melainkan cerita rakyat turun temurun, dan dapat dibuktikan kebenarannya. Silahkan anda ke daerah TALLO disana ada kubah yg dibangun dimasa lalu, didalam kubah itu ada bekas kaki org yg diyakini sebagai NABI yg telah bertemu dgn raja TALLO di masa itu, Dan kubah itu msh ada sampai sekarang sebagai tanda bahwa NABI pernah menampakkan dirinya disana.

      Perlu anda ketahui sejarah tak mungkin menulis seauatu yg tak dapat diterima oleh akal sehat, jd mari kita sama sama menyikapinya dgn bijak.

      Wassalam..

  2. pada kalimat ini yg saya komentari saudaraku!!!

    Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki itu. “Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri Baginda. Peristiwa ini dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama “Makassar”, yakni diambil dari nama “Akkasaraki Nabbiya”, artinya Nabi menampakkan diri”.

    • Jusny

      Kata “MANGKASARA'” berasal dari kata ” makkasarak” yg berarti ” menampakkan diri”

      Menampakkan diri berarti seauatu yg tadinya ada, kemudian menjadi tdk ada, lalu kemudian kembali menjadi ada.
      Tentu timbul pertanyaan siapa yg menampakkan diri?

  3. KAPAN ajaran Islam masuk Sulawesi Selatan? Pertanyaan itu hanya akan bisa terjawab dengan penelusuran sejarah. Menilik jejak sejarah Islam di Sulawesi Selatan, akan selalu diidentikkan dengan kedatangan tiga mubalig dari Minangkabau yakni Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk ri Patimang.

    Kedatangan mereka pada abad ke-17 dianggap sebagai peletak dasar ajaran Islam di daerah ini. Tiga mubalig ini berhasil mengislamkan elite-elite kerajaan Gowa-Tallo dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1607.

    Menurut pakar sejarah Islam Sulsel Prof Ahmad M. Sewang, keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah.

    Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang; Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Ketiga ulama tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan.

    Namun, inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anak Kodah Bonang. Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).

    Dia memaparkan, berdasarkan teori Islamisasi di Makassar yang digagas penulis Belanda J Noor Duyn, periode perkembangan Islam di daerah ini dibagi atas tiga, masing-masing kedatangan Islam, penerimaan Islam, dan yang ketiga adalah penyebaran Islam.

    “Namun teori yang kita gunakan dan diketahui secara umum adalah teori penerimaan Islam di Sulsel pada abad ke-17. Sementara teori tentang masuknya Islam di Sulsel sudah ada pada abad ke-16,” jelas Pembantu Rektor I Universitas Negeri Islam (UIN) Alauddin Makassar ini.

    Dia menjelaskan, setiba di Makassar, ketiga ulama ini tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa

    Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan.

    Ketiganya mengislamkan Datuk Luwu yang kemudian diberi nama Islam, Sultan Muhammad Mahyuddin pada bulan Februari tahun 1605, lalu Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka (Sultan Abdullah Awalul Islam) yang hampir bersamaan dengan raja Gowa Sultan Alauddin pada 22 September 1605. “Jadi sebenarnya dari Luwu dulu yang masuk Islam, namun yang lebih dikenal adalah Kerajaan Tallo dan Gowa, karena memang besar dan diumumkan kepada masyarakatnya,” ungkap Ahmad Sewang.

    Selain itu, kata dia, Sultan Alauddin pula yang menggelar salat Jumat besar-besaran pada tahun 1607 dan mengumumkan secara formal bahwa agama kerajaan adalah adalah Islam dan menjadikan kerajaan Gowa sebagai pusat penyebaran Islam. Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo, kedudukan Sultan Alauddin makin kuat. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islam di Sulawesi Selatan. Beliau diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam).

    Dalam buku Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan oleh HA Massiara Dg Rapi, disebutkan penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Adapun pendekatan kultural dilakukan dengan cara kerajaan mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah. Sementara, pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan lainnya.

    Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barang siapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.

    Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam.

    Sementara, menurut salah seorang keturunan Datuk ri Bandang, Ince Muhammad Anas Hasan, kondisi kehidupan sosial, budaya, dan cara perniagaan pedagang Islam lambat laun terdengar oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Mapirisika Kallonna pada abad ke-15.

    Raja kemudian membandingkan kultur yang dipakai dan sosial budaya yang dibawa oleh orang- orang yang beragama Islam, yang memang sudah mempunyai ketentuan-ketentuan yang bermaktub dalam satu kitab yang mereka (pedagang Islam) patuhi. “Mulai saat itu, raja tertarik kepada tata tertib kemasyarakatan yang di bawah untuk dapat diterapkan dan dikerjakan,” jelas Ince yang juga Ketua Yayasan Dato (Datuk) ri Bandang Sulsel.

Ikhwah Berkomentar!!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a free website or blog at WordPress.com.

%d bloggers like this: