Kesahajaan Sang Pemimpin
Oleh Adinda Ahdaka*
Penguasa adalah pemimpin diantara rakyatnya. Al-Quran menyebut pemimpin atau khalifah dalam Surah Al-Hajj: 41, ”Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf (baik) dan mencegah perbuatan yang munkar.” Makna ayat itu sangat luas, menyangkut kewajiban menjalin hablum minallah, hablum minannas, alam semesta, berbuat baik, mencegah keburukan, baik menurut agama, sosial, politik, ekonomi bahkan budaya. Kriteria inilah yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin di negeri ini.
Mengenang sebuah kisah ketika sesaat setelah Rasulullah wafat, kaum Muslimin segera mencari pengganti untuk melanjutkan kepemimpinan Islam. Ketika itu Abu Bakar memegang tangan Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah bin Jarrah sambil mengatakan kepada khalayak umum, “Salah satu dari kedua orang ini adalah yang paling tepat menjadi khalifah sebagai pengganti Rasulullah. Umar yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai orang yang dengannya Allah memuliakan Islam dan Abu Ubaidah yang dikatakan Rasulullah sebagai kepercayaan ummat ini.”
Tangan Umar gemetar mendengar kata-kata Abu Bakar itu, seakan ia kejatuhan bara yang menyala. Abu Ubaidah menutup mukanya dan menangis dengan rasa malu yang sangat. Umar bin Khaththab lalu berteriak, “Demi Allah, aku lebih suka dibawa ke depan lalu leherku ditebas walau tanpa dosa, daripada diangkat menjadi pemimpin suatu kaum dimana terdapat Abu Bakar.”
Pernyataan Umar ini membuat Abu Bakar terdiam, karena tidak mengharapkan dirinya yang ditunjuk menjadi khalifah. Dia menyadari dirinya sangat lemah dalam mengendalikan pemerintahan. Tidak setegas Umar dan tidak sebijak Abu Ubaidah.
Tapi akhirnya pikiran dan perasaan semua orang terarah kepada Abu Bakar. Karena dialah sesungguhnya yang paling dekat, ditinjau dari berbagai aspek, untuk menduduki jabatan khalifah yang teramat berat ini. Setumpuk alasan dapat dikemukakan untuk menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah. Dialah orang yang dianggap paling dekat dengan Rasulullah SAW dan paling kuat imannya, sesuai pernyataan Nabi, “Kalau iman seluruh ummat Islam ditimbang dengan iman Abu Bakar, maka lebih berat iman Abu Bakar.”
Maka terangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi SAW. Saat pertama kali Abu Bakar menginjakkan kaki di mimbar Rasulullah, ia hanya sampai pada anak tangga kedua dan duduk di situ tanpa berani melanjutkan ke anak tangga berikutnya, sambil berpidato, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya aku diangkat menjadi pemimpin kalian, tapi aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, maka bantulah aku. Dan jika aku berbuat kesalahan, maka luruskanlah aku. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat di sisiku, hingga aku berikan hak kepadanya. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika aku durhaka, janganlah kalian taat kepadaku.”
Recent Comments