Terlahir dari sebuah keluarga yang tidak mampu, juga orang tua dengan pemahaman Islam “abangan”, tidak menjadikan semuanya menjadi lebih buruk. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Abu Syauqi telah terbiasa i’tikaf di masjid. Kemudian pada masa SMP, beliau mulai kenal dan ikut aktif pada organisasi kepemudaan Islam bernamakan Pelajar Islam Indonesia (PII). Di saat menginjak sekolah menengah inilah, Abu mulai pertama kalinya mengecap manisnya Tarbiyah. Bisa dikatakan lingkungan Abu adalah lingkungan dengan nafas perjuangan Islam yang saat itu tengah digencet oleh rezim penguasa (baca: Soeharto dan antek-anteknya).
Pasca lulus dari SMA 5 Bandung, Abu didorong oleh Ust. Salim (Dr. Salim Segaf Al Jufrie, MA –Menteri Sosial RI 2009 s.d 2014-) untuk berkuliah di LIPIA Jakarta. Namun, ternyata Abu tidak tahan kuliah di sana, dan memutuskan untuk mengakhiri masa kuliahnya sebelum mengantongi ijazah. Keluarga menawarkan dirinya untuk bekerja di beberapa tempat seperti BRI dan PLN. Beliau dengan keras menolak tawaran itu, karena mengetahui bahwa riba di bank-bank konvensional adalah haram hukumnya. Kemudian jika bekerja di tempat-tempat tersebut, kemungkinan besar Abu tidak akan dapat mengikuti halaqah lagi seperti biasanya. Pada taraf ini, Abu sudah benar-benar yakin bahwa halaqah/liqo’ adalah sebuah kebutuhan, bukan lagi dianggap sebagai sebuah kewajiban dalam jama’ah.
Mulailah Abu kembali pada aktivitas dakwah, ngisi halaqah di mana-mana, tapi tidak punya pekerjaan yang tetap sebagai sumber penghasilan. Prinsip yang dipegang oleh Abu, “Miskin boleh, namun yang paling penting adalah tidak meninggalkan dakwah”. Sebuah prinsip yang terpatri kuat dalam dirinya. Lalu, dari situ Abu mulai berfikir, dengan keadaan demikian, harus tetap bisa survive, dan cara yang ditempuh tak lain adalah dengan berwirausaha.
Abu menikah pada saat kondisi sedang sulit, tak menunggu dirinya telah “mapan” terlebih dahulu. Bahkan Abu mengatakan kepada isterinya, “Umi, hamil lagi saja”, ketika anak pertama telah lahir. Kemudian, “Mi, hamil lagi ya”. Masih saja keadaan keluarga masih belum stabil, namun dengan mantap Abu mengatakan, “Umi, hamil lagi”. Dan barulah pada kelahiran anak keempat, bisnis Abu mulai stabil dan tidak pernah kekurangan sampai sekarang. Hal ini karena Abu sangat yakin bahwa anak itu membawa rizki, isteri kita juga membawa rizki. “Ini hanyalah permasalahan mental dan keyakinan pada Rabb saja”, ujar Abu dengan menggebu. Karena telah jelas, ketika kita menolong agama Allah, maka Allah akan menolong diri kita. Kemudian di awal itu semua, Abu telah mendoa kepada Allah, “Ya Allah, berikan hamba rizki yang cukup, dan hamba akan berdakwah habis-habisan”. Dan subhanallah, hal tersebut masih dipegang oleh Abu sampai sekarang meskipun beliau telah menjadi Milyuner.
Pada tahun 1997/1998 setelah usaha yang dirintisnya sejak tahun 90-an, Abu mulai merasakan ketidaknyamanan dan kehambaran. Dilepaslah semua aset miliknya, diberikan kepada ikhwah lain untuk mengurusnya. Bahkan, sempat juga ketika tiba-tiba di waktu sore/malam ada yang ngetuk pintu (mengundang Abu untuk mengisi ceramah/halaqah) rasanya begitu berat. Itu adalah masa-masa Abu mengalami “futur” dalam versinya sendiri. Alhamdulillah tidak lama, tahun 1998 Abu mendirikan Daisuki, sebuah yayasan yang waktu itu sempat membuat film terkait peristiwa di Poso, Ambon. Daisuki lah yang membuat film dokumenter tentang fakta-fakta mengerikan yang terjadi di sana. Pada akhirnya sampai dicari-cari oleh intel untuk ditangkap. Kemudian karena kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, sejak tahun 2000 Daisuki diubah menjadi Rumah Zakat yang berfokus sebagai lembaga sosial, dan mampu bertahan sampai sekarang.
Tahun 2009, Abu mulai “melepaskan” Rumah Zakat dan fokus pada bidang bisnis alias mendirikan sebuah perusahaan. Perusahaannya pun macam-macam mulai dari IT hingga peternakan, dan skalanya tidak main-main, dana yang diinvestasikan di sana mencapai milyaran rupiah.
Semuanya memang tidak berjalan mulus, beberapa kerugian dalam mencoba bisnis baru itu selalu ada. Pengalaman ditipu orang, matinya ribuan peternakan yang sedang dikelola, dan lain sebagainya. Namun, kerugian tidak menciutkan nyali. Karena Abu dengan tegas mengatakan, “Saya bertekad menjadi konglomerat untuk dakwah”. Jadi ketika ada aset saya yang hilang, kesedihan itu tidak pernah ada, karena kaya maupun miskin, hidup ini adalah untuk dakwah, orientasinya akhirat, dan syahid di jalan-Nya. “Karena ini semua, semangat jihadlah yang menginspirasi saya. Saya bukan seorang Pengusaha, bukan pula seorang Politisi, tapi saya adalah seorang Mujahid”. Tutup Abu Syauqi dalam pertemuan antara KAMMI Daerah Bandung dengan dirinya.
Disarikan dari perbincangan khusus antara Kader KAMMI Daerah Bandung dengan Ust. Abu Syauqi (Pendiri Rumah Zakat Indonesia) pada hari Sabtu pagi, 03 November 2012.
Ditulis oleh Muhammad Joe Sekigawa, SST
Ketua Umum BSO KAMMI STKS Bandung Maret s.d Oktober 2012
Pingback: 10 Quote Tentang Cinta Ala 500 DAYS OF SUMMER | bijak.net