Hanya tinggal menghitung waktu, jika kemarin perhelatan akbar pesta demokrasi sudah hangat dicontohkan di Ibukota Negara dan menghadirkan Jokowi sebagai pemegang tampuk kepemimpinan. Maka kali ini bergeser sedikit ke arah timur dan masuk ke gerbang Jawa Barat (Jabar). Menekuk jari perlahan akan segera terhitung beberapa hari yang tersisa untuk menjawab, “siapa yang menjadi Jabar 1?”.
Media memang selalu membanggakan, selang keputusan dan penetapan bakal calon pasangan gubernur dan wakil gubernur spontan massa langsung tahu beritanya. Akan memilih pendekar pelanjut Kian Santang untuk menjadi pembaharu Pasundan, tanah gemah ripah yang diwariskan. Lima pendekar berikut partner perangnya sudah siap berlaga dengan segudang kampanye politiknya. Tak sekedar berangkat dari kemampuan, tapi juga banyak yang menggandeng popularitas sebagai modal, baik dalam wadah partai ataupun secara independen.
Dari kemampuan sampai popularitas,
Kaca bening sudah ada di hadapan sekarang. Sembari diam dan merenung sering mempertanyakan bercampur gelisah keheranan. Beberapa dari kandidat yang maju adalah para pekerja seni yang tidak sembarangan. Popularitas mereka memang sudah tak perlu diragukan; yang jadi tanda tanya “Kenapa politik jadi panggung hiburan?”, tak banyak asumsi yang akan hadir, selain “Karena masyarakat lebih membutuhkan hiburan daripada tata negara dan hukum kebijakan”.
“Pahami masyarakatmu maka akan lancar dan lincah titahmu”. Satu paradigma tawaran dari ranah gerak kesosialan semoga menjadi semilir angin yang diperhitungkan di tengah semarak panas kampanye mega metropolitan.
Pentingnya memahami masyarakat,
Jika hendak mengambil hati, maka cobalah melakukan tindakan yang penuh simpati dan empati. Hakikat pemahaman atas masyarakat masih sama, dimana masyarakat tidak hanya dimiliki oleh satu orang atau satu kelompok saja. Juga tidak dimiliki oleh pemerintah setempat atau unit pembangunan lainnya, namun masyarakat dimiliki oleh setiap orang yang hidup di dalamnya. Dari hakikat di awal, maka bisa disatukan kesimpulan; kampanye tidak hanya melakukan pendekatan pada tokoh, tapi bagaimana bisa menjaring hati masyarakat secara keseluruhan. Dan fase inipun tak sempurna jika hanya diselesaikan dalam kurun masa tidak lebih dari tiga bulan. Berkesinambungan dan memang tak cerdas kalau hanya rekayasa penglihatan. Semua harus dari awal mulai gencar diprogramkan.
Selaras dengan misi kampanye dan pengelolaan masyarakat nantinya, di sini sudah ada bekal kemasyarakatan yang memang sudah dimiliki. Masyarakat kita terdiri dari orang-orang yang saling menyayangi dan bergaul satu sama lain. Mereka berbagi sumber daya untuk hidup keseharian. Selalu berbagi keuntungan dari kegiatan pengembangan masyarakat. Jika kecerdasan pemanfaatan peluang dimiliki oleh para kandidat, maka ini akan menjadi //entry point// tersendiri yang tinggal memberikan sedikit polesan untuk mengibarkannya dalam pemberdayaan kemasyarakatan.
Pendekatan holistik,
Pendekatan kampanye pun setidaknya juga harus totalitas. Holistik dalam bahasa ilmiahnya menyajikan kunci bahwa “Apa yang terjadi jika dalam kehidupan masyarakat tidak terjalin kerjasama satu sama lain antara anggota masyarakat, apa yang terjadi jika dalam suatu masyarakat tidak terjalin hubungan erat antara anggota-anggotanya serta apa yang terjadi jika dalam masyarakat tanpa hubungan erat dan tanpa kerjasama akan mengalami kemunduran secara bertahap dan akhirnya mengalami kekacauan?”. Dari sini, lagi-lagi para kandidat yang memang sudah memiliki kelihaian dalam memainkan jabatan pemerintahan akan dengan gampang kembali mengakui betapa besar dan kuatnya pendekatan ini untuk dimaksimalkan.
Kekuatan dalam masyarakat,
Selaku seorang pemimpin, akan dianggap berhasil oleh masyarakat (rakyat) yang dipimpinnya manakala ia berhasil memberdayakan masyarakat yang dipimpinnya. Sebagaimana Jim Ife yang mengutarakan defiisi pemberdayaan bukanlah saat masyarakat mampu hidup dengan belas kasihan dan pemberian fasilitas dari sistem yang menindas, namun saat mereka bisa hidup atas segala kebutuhan dari kemampuan untuk menentang sistem yang semena-mena.
Setidaknya, di dalam pemberdayaan akan bisa maksimal saat memberangkatkan segala kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat itu sendiri. Setelah kekuatan diketemukan, ajarkan masyarakat untuk berjalan dan biarkan ia berkelana dengan bekal kekuatan yang dimiliki.
Di mana maksud dari kekuatan sendiri berarti usaha keras yang dihasilkan dari kombinasi kemampuan-kemampuan. Termasuk kemampuan berpikir dan bertindak bijaksana. Siapapun di masyarakat menginginkan kesejahteraan. Tapi bagaimana mewujudkannya, anggota masyarakat itu sendiri yang bisa menjawabnya. Tak seorangpun tahu lebih baik mengenai suatu masyarakat selain anggota masyarakat itu sendiri. Tak seorangpun bisa memberi kekuatan pada suatu masyarakat, kecuali anggota masyarakat melalui persatuan antar warga. Dan kekuatan ini akan tetap abadi selama persatuan tetap ada.
Serta acuan terakhirnya; pemimpin-pemimpin dalam masyarakat harus mengerti bahwa warganya memiliki martabat dan wibawa, mereka juga memiliki kemampuan untuk membantu pengembangan masyarakat. Pemimpin masyarakat tidak dapat bekerja tanpa adanya kerja sama dengan anggota masyarakat. Pengerahan kekuatan masyarakat untuk pembangunan mendorong kerja sama dan tolong menolong antar warga masyarakat.
Jika memimpikan menjadi pendekar bagi Jawa Barat, sebenarnya itulah yang dirindu dari masyarakat. Saat mereka diberdayakan, saat mereka diakui akan keberadaan dan martabat serta kewibawaannya. Dan tentulah saat janji kampanye tidak hanya sekedar manis diucapkan tapi segar dirasakan. Tentulah butuh kerja sama dalam pengembangan masyarakat, harus mampu menggambarkan keseluruhan permasalahan mereka, mampu mengerahkan kekuatan yang ada di dalamnya dan janganlah pernah lupa; pendekar Jawa Barat adalah mereka yang mampu memandang rakyatnya dari seluruh aspek.
Dalam edisi penutup, jadikan juga wacana, apa yang terjadi di Ibukota Negara akan menjadi bekal perkembangan anak asuhnya, termasuk ranah pemilu daerahnya, terlebih masalah strategi pelaksanaannya.
*) Referensi Bacaan: Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat (Depsos, 2007)
Penulis: Erna Dwi Susanti
Mahasiswi STKS Bandung dan Aktivis KAMMI
Redaktur : Nidia Zuraya
Pertama kali diterbitkan di Republika pada Rabu, 30 Januari 2013, 09:01 WIB
Sumber Asli http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/13/01/30/mhf1m3-jabar-merindu-penerus-kian-santang
Recent Comments